Selasa, 28 Juni 2011

Merengkuh Sepoi

Semua menjadi satu. Satu jam tadi tiba-tiba bergejolak menjadi api yang tak akan pernah padam. Sesuai dengan anti-harapan yang ada. Berusaha mengarah, tapi tak tahu arah. Ke utara yang kutempuh, namun semua mengalami disorientasi. Wewangian yang coba menghibur hanya menjadi hirupan oleh mata dan terasa oleh otak. Tangan melambai ke sebuah serpihan angin, menggapai apa yang dapat tergapai, hingga air hujan yang tak rela melihat keadaan seperti ini. Menodongkan kepala gitar ke depan, redup suara dawai kemudian, hanyalah tabung resonansi yang kemudian menjadi sampah suara sekitar. Menangkap dan membesarkan semua yang ada. Pujangga sejati tak ada yang tak berlebihan.

Aku pun kembali ke selembar kertas kusam. Hanya sebatas dua baris kata-kata, kemudian hilang. Coretan lengkungan-lengkungan, setiap himpitan sudut yang ada, dan titik yang terpatuk dari ujung bola bertinta. Ternoda, seperti sekian milimeter kupastikan keberadaannya. Namun, detaknya hanya bisa terdengar bila untaian wol kasar terhimpit di setiap jejak. Bersiaplah untuk orkestra sederhana yang bergema di hall yang berdinding anyaman bambu, sekalipun. Setiap sela-sela jari ini akan memberi arti, akan arti, dari setiap arti, yang tak pernah berarti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar