PERKEMBANGAN PUBLIC RELATIONS
Zaman Kerajaan-Awal kemerdekaan
I. Zaman Kerajaan
Istilah public relation (PR) pada zaman kerajaan di Indonesia tentunya belum begitu popouler atau bahkan tidak ada. Namun bila ditelaah sesuai sejarah kerajaan, fungsi PR yang di antaranya menciptakan komunikasi dua arah antara organisasi dan publiknya, dalam hal ini adalah kerajaan di mata masyrakat luas, tentunya orang yang mempunyai fungsi mirip dengan PR tersebut dan mungkin bisa dikategorikan sebagai PR.
Patih Gajah Mada
Di dalam suatu kerajaan, pastilah terdapat penguasa yang biasa disebut raja. Seorang raja tentunya mempunyai seorang pendamping yang mempunyai peran sebagai penasehatnya, terutama dalam hal hubungan dia sebagai raja dengan publik di luar kerajaan seperti kerajaan-kerajaan lain.
Dicontohkan di pulau Jawa, terdapat nama-nama patih, seperti yang terkenal yakni Patih Gajah Mada yang berkuasa mulai tahun 1334 pada masa kerajaan Majapahit di bawah kendali Prabu Hayam Wuruk. Pengalamannya menjadi patih sudah tidak diragukan lagi. Tercatat dalam sejarah, dia mengawali karirnya ketika menjadi Patih Kahuripan (1319) yang diangkat oleh Prabu Jayanagara (1309-1328) karena jasanya mengatasi Pemberontakan Ra Kuti. Pada 1321, Gajah Mada diangkat menjadi patih Kediri karena jasanya menaklukkan Keta dan Sadeng.
Mungkin itulah nilai-nilai PR dapat dilihat dari jasanya dalam mempersatukan nusantara seperti yang disebutkan dalam sumpah ”Palapa”-nya. Di sini dapat diartikan sebagai usaha Patih Gajah Mada dalam memperkuat hubungan Kerajaan Majapahit dengan pulau-pulau lain di Indonesia sehingga Majapahit pada waktu itu telah menguasai pulau-pulau seperti Bedahulu (Bali) dan Lombok (1343), Palembang, Swarnabhumi (Sriwijaya), Tamiang, Samudra Pasai, dan negeri-negeri lain di Swarnadwipa (Sumatra). Lalu Pulau Bintan, Tumasik (Singapura), Semenanjung Malaya, dan sejumlah negeri di Kalimantan seperti Kapuas, Katingan, Sampit, Kotalingga (Tanjunglingga), Kotawaringin, Sambas, Lawai, Kandangan, Landak, Samadang, Tirem, Sedu, Brunei, Kalka, Saludung, Solok, Pasir, Barito, Sawaku, Tabalung, Tanjungkutei, dan Malano.
Di zaman Prabu Hayam Wuruk (1350-1389), Patih Gajah Mada mengembangkan penaklukan ke wilayah timur seperti Logajah, Gurun, Sukun, Taliwung, Sapi, Gunungapi, Seram, Hutankadali, Sasak, Bantayan, Luwuk, Makassar, Buton, Banggai, Kunir, Galiyan, Salayar, Sumba, Muar (Saparua), Solor, Bima, Wandan (Banda), Ambon, Wanin, Seran, Timor, dan Dompo. Dengan keadaan seperti ini, sudah pasti membuat citra Majapahit di mata kerajaan-kerajaan lain sangatlah disegani oleh karena peran seorang Gajah Mada.
Penyebaran Islam
Nilai-nilai PR juga tersirat dari perkembangan Islam ke Indonesia yakni pada abad 7 masehi. Para da’i yang datang ke Indonesia berasal dari jazirah Arab yang sudah beradaptasi dengan bangsa India yakni bangsa Gujarat dan ada juga yang telah beradaptasi dengan bangsa Cina, dari berbagai arah yakni dari jalur sutera (jalur perdagangan) da’wah mulai merambah di pesisir-pesisir Indonesia. Hingga pada abad 13 Masehi terdapatlah Wali Songo yaitu ulama-ulama yang menyebarkan da’wah di Indonesia. Wali Songo mengembangkan da’wah atau melakukan proses Islamisasinya melalui saluran-saluran seperti perdagangan, pernikahan, pesantren, seni dan budaya, dan tassawuf.
Pada masa itu para wali dengan segala strategi Islam berusaha untuk menyiarkan agama Islam dengan segala kemampuannya dengan kepandaiannya berkomunikasi (berdakwah) sehingga Islam cepat tersebar pada waktu itu dan diterima masyarakat.
II. Awal Kemerdekaan
Public relation (PR) di Indonesia baru populer pada tahun 1950-an yakni setelah kemerdekaan Indonesia diakui oleh Belanda (27 Desember 1949), ketika Indonesia baru memindahkan pusat ibu kota dari Yogyakarta ke Jakarta. Proses pembenahan struktural serta fungsional dari tiap elemen-elemen kenegaraan marak dilakaukan oleh pemerintah pusat. Pemerintah memerlukan adanya badan atau lembaga yakni Departemen Penerangan. Namun, pada kenyataannya, departemen tersebut hanya berdedikasi pada kegiatan politik dan kebijaksanaan pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah sehingga tidak menyeluruh.
Kemudian pada tahun 1962, Presidium Kabinet PM Juanda menginstruksikan agar setiap instansi pemerintah harus membentuk bagian atau divisi Humas (PR), ditahun itulah, periode pertama cikal bakal adanya Humas di Indonesia.
Selanjutnya, PR berkembang sesuai dengan keadaan yang terjadi. Kata “Humas” (Hubungan Masyarakat) yang dipergunakan merupakan terjemahan dari Public Relations. Tetapi, jika kegiatan yang dilakukan oleh Humas itu hanya mengadakan hubungan dengan masyarakat di luar organisasi, misalnya mengundang wartawan untuk jumpa pers, maka istilah hubungan masyarakat tersebut tidaklah tepat apabila dimaksudkan sebagai terjemahan dari public relations.
Berbeda dengan konsep yang diterapkan oleh bapak PR, Ivy L.Lee, yakni di mana PR seharusnya mempunyai kedudukan dalam posisi pemimpin dan diberi kebebasan untuk berprakarsa dalam meyiapkan informasi secara bebas serta terbuka.
Hal-hal di atas disebabkan karena beberapa konsep. Sasaran PR adalah publik intern dan publik ekstern. Publik intern adalah orang-orang yang berbeda atau tercakup organisasi, seluruh pegawai mulai dari staff hingga direktur. Publik ekstern ialah orang-orang yang berada di luar organisasi yang ada hubungannya dan yang diharapkan ada hubungannya seperti pemerintah, berbagai macam perusahaan, biro iklan, LSM, dan masyarakat luas. Kegiatan PR adalah komunikasi dua arah yang berarti dalam penyampaian informasi PR diharapkan untuk menghasilkan umpan balik, sehingga nantinya dapat menjadi bahan evaluasi perusahaan agar lebih baik.
Di periode pertama tersebut, PR di Indonesia secara struktural belum banyak yang ditempatkan dalam manajemen tertinggi.
Namun, perkembangan PR di Indonesia semakin maju dikarenakan perkembangan teknologi yang sangat pesat, sehingga membawa perubahan zaman.
Pada tahun 1967-1971, terbentuklah Badan Koordinasi Kehumasan (Bakohumas). Tugas badan ini antara lain ikut serta dalam berbagai kegiatan pemerintah dan pembangunan, khususnya di bidang penerangan dan kehumasan, serta melakukan pembinaan dan pengembangan profesi kehumasan.
Sumber:
Anonim. Sejarah Public Relation di Indonesia. 2008. dikutip dari http: //alwayskantry009.wordpress.com/
Kamal, Mustadfa. 2009. Sejarah Islam Di Indonesia. Dikutip dari http://pks-sleman.org/download/artikel/698159531pksSEJARAH%20ISLAM%20INDONESIA.pdf –
Ochim. 2008. Gajah Mada, Jendral Yang Mempersatukan Nusantara Dikutip dari http://kolomtuturial.onsugar.com/2583213
Nama : Muhammad Advin H
NIM : 0811220117
Zaman Kerajaan-Awal kemerdekaan
I. Zaman Kerajaan
Istilah public relation (PR) pada zaman kerajaan di Indonesia tentunya belum begitu popouler atau bahkan tidak ada. Namun bila ditelaah sesuai sejarah kerajaan, fungsi PR yang di antaranya menciptakan komunikasi dua arah antara organisasi dan publiknya, dalam hal ini adalah kerajaan di mata masyrakat luas, tentunya orang yang mempunyai fungsi mirip dengan PR tersebut dan mungkin bisa dikategorikan sebagai PR.
Patih Gajah Mada
Di dalam suatu kerajaan, pastilah terdapat penguasa yang biasa disebut raja. Seorang raja tentunya mempunyai seorang pendamping yang mempunyai peran sebagai penasehatnya, terutama dalam hal hubungan dia sebagai raja dengan publik di luar kerajaan seperti kerajaan-kerajaan lain.
Dicontohkan di pulau Jawa, terdapat nama-nama patih, seperti yang terkenal yakni Patih Gajah Mada yang berkuasa mulai tahun 1334 pada masa kerajaan Majapahit di bawah kendali Prabu Hayam Wuruk. Pengalamannya menjadi patih sudah tidak diragukan lagi. Tercatat dalam sejarah, dia mengawali karirnya ketika menjadi Patih Kahuripan (1319) yang diangkat oleh Prabu Jayanagara (1309-1328) karena jasanya mengatasi Pemberontakan Ra Kuti. Pada 1321, Gajah Mada diangkat menjadi patih Kediri karena jasanya menaklukkan Keta dan Sadeng.
Mungkin itulah nilai-nilai PR dapat dilihat dari jasanya dalam mempersatukan nusantara seperti yang disebutkan dalam sumpah ”Palapa”-nya. Di sini dapat diartikan sebagai usaha Patih Gajah Mada dalam memperkuat hubungan Kerajaan Majapahit dengan pulau-pulau lain di Indonesia sehingga Majapahit pada waktu itu telah menguasai pulau-pulau seperti Bedahulu (Bali) dan Lombok (1343), Palembang, Swarnabhumi (Sriwijaya), Tamiang, Samudra Pasai, dan negeri-negeri lain di Swarnadwipa (Sumatra). Lalu Pulau Bintan, Tumasik (Singapura), Semenanjung Malaya, dan sejumlah negeri di Kalimantan seperti Kapuas, Katingan, Sampit, Kotalingga (Tanjunglingga), Kotawaringin, Sambas, Lawai, Kandangan, Landak, Samadang, Tirem, Sedu, Brunei, Kalka, Saludung, Solok, Pasir, Barito, Sawaku, Tabalung, Tanjungkutei, dan Malano.
Di zaman Prabu Hayam Wuruk (1350-1389), Patih Gajah Mada mengembangkan penaklukan ke wilayah timur seperti Logajah, Gurun, Sukun, Taliwung, Sapi, Gunungapi, Seram, Hutankadali, Sasak, Bantayan, Luwuk, Makassar, Buton, Banggai, Kunir, Galiyan, Salayar, Sumba, Muar (Saparua), Solor, Bima, Wandan (Banda), Ambon, Wanin, Seran, Timor, dan Dompo. Dengan keadaan seperti ini, sudah pasti membuat citra Majapahit di mata kerajaan-kerajaan lain sangatlah disegani oleh karena peran seorang Gajah Mada.
Penyebaran Islam
Nilai-nilai PR juga tersirat dari perkembangan Islam ke Indonesia yakni pada abad 7 masehi. Para da’i yang datang ke Indonesia berasal dari jazirah Arab yang sudah beradaptasi dengan bangsa India yakni bangsa Gujarat dan ada juga yang telah beradaptasi dengan bangsa Cina, dari berbagai arah yakni dari jalur sutera (jalur perdagangan) da’wah mulai merambah di pesisir-pesisir Indonesia. Hingga pada abad 13 Masehi terdapatlah Wali Songo yaitu ulama-ulama yang menyebarkan da’wah di Indonesia. Wali Songo mengembangkan da’wah atau melakukan proses Islamisasinya melalui saluran-saluran seperti perdagangan, pernikahan, pesantren, seni dan budaya, dan tassawuf.
Pada masa itu para wali dengan segala strategi Islam berusaha untuk menyiarkan agama Islam dengan segala kemampuannya dengan kepandaiannya berkomunikasi (berdakwah) sehingga Islam cepat tersebar pada waktu itu dan diterima masyarakat.
II. Awal Kemerdekaan
Public relation (PR) di Indonesia baru populer pada tahun 1950-an yakni setelah kemerdekaan Indonesia diakui oleh Belanda (27 Desember 1949), ketika Indonesia baru memindahkan pusat ibu kota dari Yogyakarta ke Jakarta. Proses pembenahan struktural serta fungsional dari tiap elemen-elemen kenegaraan marak dilakaukan oleh pemerintah pusat. Pemerintah memerlukan adanya badan atau lembaga yakni Departemen Penerangan. Namun, pada kenyataannya, departemen tersebut hanya berdedikasi pada kegiatan politik dan kebijaksanaan pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah sehingga tidak menyeluruh.
Kemudian pada tahun 1962, Presidium Kabinet PM Juanda menginstruksikan agar setiap instansi pemerintah harus membentuk bagian atau divisi Humas (PR), ditahun itulah, periode pertama cikal bakal adanya Humas di Indonesia.
Selanjutnya, PR berkembang sesuai dengan keadaan yang terjadi. Kata “Humas” (Hubungan Masyarakat) yang dipergunakan merupakan terjemahan dari Public Relations. Tetapi, jika kegiatan yang dilakukan oleh Humas itu hanya mengadakan hubungan dengan masyarakat di luar organisasi, misalnya mengundang wartawan untuk jumpa pers, maka istilah hubungan masyarakat tersebut tidaklah tepat apabila dimaksudkan sebagai terjemahan dari public relations.
Berbeda dengan konsep yang diterapkan oleh bapak PR, Ivy L.Lee, yakni di mana PR seharusnya mempunyai kedudukan dalam posisi pemimpin dan diberi kebebasan untuk berprakarsa dalam meyiapkan informasi secara bebas serta terbuka.
Hal-hal di atas disebabkan karena beberapa konsep. Sasaran PR adalah publik intern dan publik ekstern. Publik intern adalah orang-orang yang berbeda atau tercakup organisasi, seluruh pegawai mulai dari staff hingga direktur. Publik ekstern ialah orang-orang yang berada di luar organisasi yang ada hubungannya dan yang diharapkan ada hubungannya seperti pemerintah, berbagai macam perusahaan, biro iklan, LSM, dan masyarakat luas. Kegiatan PR adalah komunikasi dua arah yang berarti dalam penyampaian informasi PR diharapkan untuk menghasilkan umpan balik, sehingga nantinya dapat menjadi bahan evaluasi perusahaan agar lebih baik.
Di periode pertama tersebut, PR di Indonesia secara struktural belum banyak yang ditempatkan dalam manajemen tertinggi.
Namun, perkembangan PR di Indonesia semakin maju dikarenakan perkembangan teknologi yang sangat pesat, sehingga membawa perubahan zaman.
Pada tahun 1967-1971, terbentuklah Badan Koordinasi Kehumasan (Bakohumas). Tugas badan ini antara lain ikut serta dalam berbagai kegiatan pemerintah dan pembangunan, khususnya di bidang penerangan dan kehumasan, serta melakukan pembinaan dan pengembangan profesi kehumasan.
Sumber:
Anonim. Sejarah Public Relation di Indonesia. 2008. dikutip dari http: //alwayskantry009.wordpress.com/
Kamal, Mustadfa. 2009. Sejarah Islam Di Indonesia. Dikutip dari http://pks-sleman.org/download/artikel/698159531pksSEJARAH%20ISLAM%20INDONESIA.pdf –
Ochim. 2008. Gajah Mada, Jendral Yang Mempersatukan Nusantara Dikutip dari http://kolomtuturial.onsugar.com/2583213
Nama : Muhammad Advin H
NIM : 0811220117
Tidak ada komentar:
Posting Komentar